Minggu, 07 Juli 2013

CERPEN KE- TIGA



Cerpen
Karya: Tia Destiani

*Cinta Gara-gara Ninja*

“sudah, kau pakai ini”. teriak dika, sambil memberikan sarung kearahku. Aku mengkerutkan kening menatapnya, dan dika malah memasang tampang serius.
“aku tidak mau”. Kataku menolak, lalu aku memberikan kembali sarung bermotif kotak  itu kepadanya.
“tama, kau harus menerima peranmu ini”. bujuk ayu sambil tersenyum ramah. Aku menerima sarung berwarna coklat itu dengan tatapan sebal. Aku memang menyukai buku cerita tentang ninja, salah satunya naruto, aku sangat ingin menjadi ninja yang baik dan menjadi pahlawan bahkan aku sering berkhayal kalau aku bisa menjadi ninja yang kuat seperti di buku-buku cerita yang sering aku baca. Namun kali ini, aku merasa sangat terhina, karena saat drama disekolah aku kebagian peran memerankan tokoh pencuri yang memakai sarung.  
“kau persis seperti ninja”. Teriak anto sambil menatapku kagum. Aku berlari kearah kaca yang tak jauh dari tempat aku duduk.
“anto, memang dendam kepadaku”. Kataku dalam hati sambil menarik nafas panjang saat melihat pantulan bayanganku didepan cermin. 
tubuhku yang tinggi dan wajahku yang bulat kini tak terlihat lagi karena tertutup oleh sarung coklat yang sudah dipakaikan anto di kepalaku, hanya wajahku yang tak tertutup. Bayangan ninja yang keren dan hebat di benakku hilang, dan tersisa hanya wajah tampanku yang sedikit tertutup sarung. Aku akan terlihat bodoh didepan wanita-wanita kelasku, karena berperan menjadi pencuri pakaian.  Saat aku akan membuka sarung ini, anto, dika, ayu dan indah berteriak hampir bersamaan menyuruhku agar tak melepasnya.
“nah sekarang, kita akan memulai latihan dramanya. Bagaimana kalau kita lakukan ditempat asli. Usul indah, yang langsung disambut setuju oleh  anto, dika dan ayu, kecuali aku.
“berarti, aku harus melepas sarung ini”. kataku, membela diri.
“tidaaak tama, kau harus tetap memakainya. Agar acting kita bisa lebih total dan seperti nyata”. Kata ayu. Aku menatap sebal kearah mereka berempat terutama anto karena ia terlihat tertawa sangat puas, melihat aku berpakaian seperti maling ini.
            Aku berjalan pelan, dibelakang keempat temanku. Aku memang pria yang tak bisa melawan wanita. Bisa saja aku mencopot kain sarung yang menutupi kepalaku ini, namun aku tak tega kepada ayu dan indah, kedua wanita itu sudah pusing memikirkan drama apa yang cocok untuk  tugas esok hari karena sebelumnya telah beberapa judul yang kami pilih, namun entah kenapa pilihan terakhir itu judulnya maling jemuran dan aku yang menjadi tokoh utama dalam cerita itu.  
“baiklah, kita mulai latihan dramanya disini”. Kata dika. Aku melihat kesekelilingku. Aku tidak berada diruangan tamu rumah dika lagi, melainkan berada dihalaman belakang rumahnya, yang luas. Pohon rambutan dan jambu yang tinggi menjulang terlihat berdiri bersebelahan, disisinya ada sebuah ayunan yang dudukannya terbuat dari kayu jati yang kuat. Aku membalikan badanku dan menghadap kearah selatan. Keempat temanku sudah berdiri didepan jemuran yang terbuat dari tari berwarna biru yang setiap sisinya diikat ke sebuah batang bambu yang besar. beberapa pakaian yang berwarna-warni terlihat menggantung dengan rapi hingga tak ada sedikit celah yang tersisa.
            Entah kenapa, aku harus beberapa kali mengulang teks dialogku. Karena aku belum menghapalnya, terlebih aku harus meloncat ala balerina  dengan mengayunkan kakiku sambil menatap kearah baju-baju yang mengantung ditiang  jemuran. Aku bukan tak bisa meloncat melainkan penglihatanku susah karena kain yang sedikit menutup mataku. Jujur saja aku tak nyaman menggunakannya.
“tama, sudah setengan jam kita latihan. Masa kau belum hapal juga teks dialognya. Padahal kata-kata yang kau hapal tak banyak, kau hanya perlu melakukan gerakan saja”. Kata ayu yang terlihat kesal. Ia terlihat duduk diteras yang ubinnya berwarna hitam.
“bagaimana kalau kita makan dulu”. teriak dika. Sambil mengajak kedalam rumahnya.
“aku tak lapar. aku akan latihan saja”. Kataku menolak sambil menggelengkan kepala saat keempat temanku menyuruhku untuk berhenti dan masuk kedalam rumahnya dika.
“masa, hal begini saja aku harus mengecewakan teman-temanku sih”. Kataku, yang masih berusaha menghapal teks yang diberikan ayu. Aku memang bukan pria yang ber I-Q  tinggi, tapi kalau hanya menghapal beberapa kalimat saja masa otakku ini tidak mampu.
            Dengan mengendap-ngendap aku berjalan kearah jemuran, aku benar-benar  berusaha melakukan adegan dengan senyata mungkin. Dengan pandangan mata yang berjaga aku mengambil baju-baju itu dengan pelan.
“wah baju ini bagus sekali, sepertinya ini baju bermerek”. Kataku dengan nada yang kencang, berusaha mengingat kata-kata dialog.
“heh kau siapa”. Teriak seseorang, saat aku menengok kearahnya. Seorang pria bertubuh tinggi yang berperangai seram. Ia mendekat dan menatapku curiga.
“aku temannya dika om”. Kataku. berusaha menjelaskan. Namun pria bertubuh tinggi itu seperti tak percaya dengan apa yang aku katakan. Ia berjalan semakin dekat denganku hingga aku bergidik ketakutan karena melihat rahangnya yang tiba-tiba mengeras.
“aku bukan pencuri om, aku lagi latihan drama dengan dika”. Kataku panik. Namun sebagaimana aku menjelaskan pria dewasa itu tak mendengarkan kata-kataku.
            Aku berlari, karena pria itu benar-benar akan menangkapku. Kakinya yang besar melangkah dengan kencang hingga menerobos jemuran dan menjatuhkan beberapa pakaian yang mengantung diatasnya. aku berusaha menghindar dari tangkapan tangannya yang kekar dan hitam. Sorot mata pria itu sungguh menakutkan, mungkin ia benar-benar tak percaya jika aku bukan maling seperti yang ia pikirkan karena pria itu sungguh bernafsu menangkapku. Aku berlari sekuat mungkin. Kakiku yang kurus berguna juga disaat seperti ini, karena aku jadi bisa berlari dengan kencang dan melewati tangkapan tangannya. Aku berlari sangat jauh hingga keluar dari gerbang rumah dika yang kebetulan terbuka. Aku melewati beberapa rumah yang berderet dan gang sempit yang hanya bisa dilalui dua orang. aku terus berlari, namun aku benar-benar lelah dan akhirnya berhenti untuk mengatur nafasku. Aku benar-benar kaget karena pria bertubuh tinggi itu masih mengejarku hingga aku harus bersembunyi di balik rumah bercet kuning. Aku tak tau rumah siapa.
            Kekagetanku belum juga hilang dari kedua mataku, tapi bukan karena aku melihat pria bertubuh tinggi itu lagi melainkan aku melihat seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang terurai dari balik bahunya. Kulitnya yang putih sangat kontras dengan rambutnya yang hitam sebuah perpaduan yang indah. Karena wajahnya terlihat sangat manis.apalagi saat mahkotanya itu tertiup angin. Sungguh membuat mata sejuk memandangnya. Namun aku sedikit terganggu karena ia tiba-tiba berteriak. Raut wajahnya berubah ketakutan, matanya yang bersinar berubah lemah, seperti mengharapkan sebuah pertolongan. Aku mengalihkan pandanganku dari wanita itu kearah orang yang ada dihadapannya. Seorang pria bertubuh tambun dengan tubuh pendek dan rambut keriting.  Wajahnya yang bulat dan besar membuat garang orang yang melihatnya, apalagi saat ia mengedipkan mata sebelah kanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar