Cerpen
Karya: Tia Destiani
*Cinta
Gara-gara Ninja*
“sudah, kau pakai ini”. teriak dika,
sambil memberikan sarung kearahku. Aku mengkerutkan kening menatapnya, dan dika
malah memasang tampang serius.
“aku tidak mau”. Kataku menolak, lalu
aku memberikan kembali sarung bermotif kotak itu kepadanya.
“tama, kau harus menerima peranmu ini”.
bujuk ayu sambil tersenyum ramah. Aku menerima sarung berwarna coklat itu
dengan tatapan sebal. Aku memang menyukai buku cerita tentang ninja, salah
satunya naruto, aku sangat ingin menjadi ninja yang baik dan menjadi pahlawan
bahkan aku sering berkhayal kalau aku bisa menjadi ninja yang kuat seperti di
buku-buku cerita yang sering aku baca. Namun kali ini, aku merasa sangat
terhina, karena saat drama disekolah aku kebagian peran memerankan tokoh
pencuri yang memakai sarung.
“kau persis seperti ninja”. Teriak anto
sambil menatapku kagum. Aku berlari kearah kaca yang tak jauh dari tempat aku
duduk.
“anto, memang dendam kepadaku”. Kataku
dalam hati sambil menarik nafas panjang saat melihat pantulan bayanganku
didepan cermin.
tubuhku yang tinggi dan
wajahku yang bulat kini tak terlihat lagi karena tertutup oleh sarung coklat
yang sudah dipakaikan anto di kepalaku, hanya wajahku yang tak tertutup.
Bayangan ninja yang keren dan hebat di benakku hilang, dan tersisa hanya wajah
tampanku yang sedikit tertutup sarung. Aku akan terlihat bodoh didepan
wanita-wanita kelasku, karena berperan menjadi pencuri pakaian. Saat aku akan membuka sarung ini, anto, dika,
ayu dan indah berteriak hampir bersamaan menyuruhku agar tak melepasnya.
“nah sekarang, kita akan memulai latihan
dramanya. Bagaimana kalau kita lakukan ditempat asli. Usul indah, yang langsung
disambut setuju oleh anto, dika dan ayu,
kecuali aku.
“berarti, aku harus melepas sarung ini”.
kataku, membela diri.
“tidaaak tama, kau harus tetap
memakainya. Agar acting kita bisa lebih total dan seperti nyata”. Kata ayu. Aku
menatap sebal kearah mereka berempat terutama anto karena ia terlihat tertawa
sangat puas, melihat aku berpakaian seperti maling ini.
Aku
berjalan pelan, dibelakang keempat temanku. Aku memang pria yang tak bisa
melawan wanita. Bisa saja aku mencopot kain sarung yang menutupi kepalaku ini,
namun aku tak tega kepada ayu dan indah, kedua wanita itu sudah pusing
memikirkan drama apa yang cocok untuk
tugas esok hari karena sebelumnya telah beberapa judul yang kami pilih,
namun entah kenapa pilihan terakhir itu judulnya maling jemuran dan aku yang
menjadi tokoh utama dalam cerita itu.
“baiklah, kita mulai latihan dramanya
disini”. Kata dika. Aku melihat kesekelilingku. Aku tidak berada diruangan tamu
rumah dika lagi, melainkan berada dihalaman belakang rumahnya, yang luas. Pohon
rambutan dan jambu yang tinggi menjulang terlihat berdiri bersebelahan,
disisinya ada sebuah ayunan yang dudukannya terbuat dari kayu jati yang kuat.
Aku membalikan badanku dan menghadap kearah selatan. Keempat temanku sudah
berdiri didepan jemuran yang terbuat dari tari berwarna biru yang setiap
sisinya diikat ke sebuah batang bambu yang besar. beberapa pakaian yang
berwarna-warni terlihat menggantung dengan rapi hingga tak ada sedikit celah
yang tersisa.
Entah
kenapa, aku harus beberapa kali mengulang teks dialogku. Karena aku belum
menghapalnya, terlebih aku harus meloncat ala balerina dengan mengayunkan kakiku sambil menatap
kearah baju-baju yang mengantung ditiang
jemuran. Aku bukan tak bisa meloncat melainkan penglihatanku susah
karena kain yang sedikit menutup mataku. Jujur saja aku tak nyaman
menggunakannya.
“tama, sudah setengan jam kita latihan.
Masa kau belum hapal juga teks dialognya. Padahal kata-kata yang kau hapal tak
banyak, kau hanya perlu melakukan gerakan saja”. Kata ayu yang terlihat kesal.
Ia terlihat duduk diteras yang ubinnya berwarna hitam.
“bagaimana kalau kita makan dulu”.
teriak dika. Sambil mengajak kedalam rumahnya.
“aku tak lapar. aku akan latihan saja”.
Kataku menolak sambil menggelengkan kepala saat keempat temanku menyuruhku
untuk berhenti dan masuk kedalam rumahnya dika.
“masa, hal begini saja aku harus
mengecewakan teman-temanku sih”. Kataku, yang masih berusaha menghapal teks
yang diberikan ayu. Aku memang bukan pria yang ber I-Q tinggi, tapi kalau hanya menghapal beberapa
kalimat saja masa otakku ini tidak mampu.
Dengan
mengendap-ngendap aku berjalan kearah jemuran, aku benar-benar berusaha melakukan adegan dengan senyata
mungkin. Dengan pandangan mata yang berjaga aku mengambil baju-baju itu dengan
pelan.
“wah baju ini bagus sekali, sepertinya
ini baju bermerek”. Kataku dengan nada yang kencang, berusaha mengingat
kata-kata dialog.
“heh kau siapa”. Teriak seseorang, saat
aku menengok kearahnya. Seorang pria bertubuh tinggi yang berperangai seram. Ia
mendekat dan menatapku curiga.
“aku temannya dika om”. Kataku. berusaha
menjelaskan. Namun pria bertubuh tinggi itu seperti tak percaya dengan apa yang
aku katakan. Ia berjalan semakin dekat denganku hingga aku bergidik ketakutan
karena melihat rahangnya yang tiba-tiba mengeras.
“aku bukan pencuri om, aku lagi latihan
drama dengan dika”. Kataku panik. Namun sebagaimana aku menjelaskan pria dewasa
itu tak mendengarkan kata-kataku.
Aku
berlari, karena pria itu benar-benar akan menangkapku. Kakinya yang besar melangkah
dengan kencang hingga menerobos jemuran dan menjatuhkan beberapa pakaian yang
mengantung diatasnya. aku berusaha menghindar dari tangkapan tangannya yang
kekar dan hitam. Sorot mata pria itu sungguh menakutkan, mungkin ia benar-benar
tak percaya jika aku bukan maling seperti yang ia pikirkan karena pria itu
sungguh bernafsu menangkapku. Aku berlari sekuat mungkin. Kakiku yang kurus
berguna juga disaat seperti ini, karena aku jadi bisa berlari dengan kencang
dan melewati tangkapan tangannya. Aku berlari sangat jauh hingga keluar dari
gerbang rumah dika yang kebetulan terbuka. Aku melewati beberapa rumah yang
berderet dan gang sempit yang hanya bisa dilalui dua orang. aku terus berlari,
namun aku benar-benar lelah dan akhirnya berhenti untuk mengatur nafasku. Aku
benar-benar kaget karena pria bertubuh tinggi itu masih mengejarku hingga aku
harus bersembunyi di balik rumah bercet kuning. Aku tak tau rumah siapa.
Kekagetanku
belum juga hilang dari kedua mataku, tapi bukan karena aku melihat pria
bertubuh tinggi itu lagi melainkan aku melihat seorang gadis cantik dengan
rambut panjang yang terurai dari balik bahunya. Kulitnya yang putih sangat
kontras dengan rambutnya yang hitam sebuah perpaduan yang indah. Karena
wajahnya terlihat sangat manis.apalagi saat mahkotanya itu tertiup angin.
Sungguh membuat mata sejuk memandangnya. Namun aku sedikit terganggu karena ia
tiba-tiba berteriak. Raut wajahnya berubah ketakutan, matanya yang bersinar
berubah lemah, seperti mengharapkan sebuah pertolongan. Aku mengalihkan
pandanganku dari wanita itu kearah orang yang ada dihadapannya. Seorang pria
bertubuh tambun dengan tubuh pendek dan rambut keriting. Wajahnya yang bulat dan besar membuat garang
orang yang melihatnya, apalagi saat ia mengedipkan mata sebelah kanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar