Minggu, 07 Juli 2013

Cerpen Kedua




"Penggangguran"
 
Aku bangun siang kali ini. saat aku membuka mata, aku menatap ke jendela, langit terlihat terang dengan matahari yang kian menguning. Aku tak langsung beranjak dari kasurku yang bersprei merah keunguan, tapi aku menikmati dengan tenang hingga pikiranku menerawang jauh. masih teringat jelas dimemori otakku. Saat pak darmono memanggilku keruangannya, pria berkacamata itu meletakan kertas di mejanya yang panjang, ia menyuruhku untuk menandatanganinya.
            Aku terduduk lemas, keringatku bercucuran dengan deras meskipun ruangan yang tidak terlalu besar itu dilengkapi dengan ac. Ia menepak pundakku hingga jariku yang lentik menorehkan tinta hitam di atas kertas kosong itu. Sebuah kertas pemecatan dari perusahaan.
“neva, cepat bangun, sudah siang”. Teriakan dari luar pintu yang membuyarkan lamunanku. Tapi aku kalah cepat dengan langkah kaki yang terdengar semakin dekat.
“kau belum mandi neva?”. Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku dan menengok kerah suara itu. Suara yang berasal dari tika, wanita yang pernah melahirkanku. Aku menatapnya lemas.
“aku libur hari ini bu”. Kataku berbohong, ia menatapku heran. Aku memang tidak berbakat untuk berbohong, tapi untuk kali ini, aku harus melakukannya. Aku tak mungkin berkata jujur, kalau aku sebenarnya, mulai detik ini statusku menjadi pengangguran.
            Hari bergulir dengan cepat. Putaran jam semakin berlari dengan kencang meninggalkan mimpiku ditengah kegusaran mencari kerja. Aku terdiam, melihat bayangan diriku sendiri di depan cermin. Wajah yang pucat, rambut panjang yang tergerai dibalik bahu, warnanya hitam pekat. Aku menyisirnya, aku memakai kemeja berwarna coklat yang setiap sudutnya bergaris. Dengan langkah gontai aku masuk kedalam ruangan tunggu yang penuh sesak.

“neva, sekarang giliranmu”. Teriak seorang wanita berkemeja biru. Ia mengantarku kesebuah ruangan interview. Aku berjalan mengikutinya, memasuki ruangan yang tidak terlalu besar dengan papan di dinding atasnya tertulis hrd departement.
            Seorang pria setengah baya, menyuruhku duduk, pria itu beralis tebal dengan kaca mata hitam tak luput dari wajahnya. Ia membuka amplop coklat yang didalamnya terdapat data diriku. Ia membacanya dengan teliti lalu menatapku dengan serius.
“nama panjangmu neva arista dewi purna?”. Ia bertanya dengan pelan sambil sesekali terlihat membenarkan kacamatanya. Aku mengangguk pelan.
“hmm,..apa pendidikan terakhirmu?”. Aku melihat mimik wajahnya, tegas.
“d3 perhotelan”. kataku ragu, ia terlihat menggelengkan kepala. Menatapku tak percaya.
“jurusan apa”. Ia terdengar penasaran.
“tata boga”. Kata ku pelan, tanganku berkeringat menahan gugup.
“kau tau?? Posisi yang kau lamar?”. Aku menggangguk pelan.
“accounting?”. Jawabku, terbata-bata. Entah mengapa ia tertawa dengan keras hingga membuatku semakin tak bisa menguasai kegugupanku.
“ha..ha.., aku baru mendengar kalau juru masak bisa menghitung gaji karyawan”. Suaranya terdengar meremehkan.
“baiklah, aku akan menghitung tes psikotes, kalau kau diterima diperusahaan ini. hrd kami akan menghubungimu kembali”. Ia berdiri, menjabat tanganku dengan pelan. Aku berjalan dengan lesu keluar ruangan berdinding putih itu.
Aku merebahkan tubuhku diatas kasur, mataku tak lepas dari surat kabar. Dengan pulpen yang ada digenggamanku, aku mencontreng beberapa perusahaan yang sudah aku lamar. Melihatnya dengan teliti hingga aku lelah dan terlelap dalam ketidasadaran.
“nak, apakah kau punya simpanan uang?”. Tika, menyapaku saat aku baru mengambil piring didapur. Ibuku itu terlihat sudah tua dengan kerut yang menghiasi beberapa bagian wajahnya. Aku duduk lemas, lemas karena aku tak punya sepeserpun uang di dompetku. Terlebih tabunganku sudah kukuras dengan habis untuk membayar pengobatan andre adikku. Aku merasa bersalah padanya karena selama ini aku selalu memberinya uang tiap bulan tapi sudah dua bulan lebih aku tak kunjung mendapat pekerjaan.
“maafkan aku bu, aku tidak ada uang sekarang”. Jawabku jujur, ia tersenyum dengan sabar. Aku duduk, mengunyah nasi sambil menatapnya dari kejauhan.
            Aku menghubungi beberapa teman lamaku, mencoba menjalin komunikasi kembali, tapi mereka berkata hampir sama bahwa diperusahan tempat kerja mereka sedang tidak ada lowongan dan itu membuatku kecewa. Aku semakin bosan berada dirumah, terutama saat akan pergi ke warung setiap tetangga menatapku aneh. mereka mengganggapku tidak berguna karena aku tak mempunyai pekerjaan.
Aku duduk di depan layar televisi. Melihat para lakon itu berperan dengan lincah memainkan alat musik. Memperhatikan mereka menari-nari hingga ringtone ponsel berbunyi mengalihkan perhatianku.
“neva, bagaimana kabarmu nak?”. Suaranya terdengar halus. Aku menanyainya yang baru aku tau bude ita pemilik suara itu.
“baik bude, bude apa kabar”. Aku balik bertanya.
“baik nak, kata ibumu kamu ada dirumah terus, dari pada bengong, kau bantu bude bikin kue untuk perkawinan  mas dimas”. Ajaknya, aku tadinya ragu tapi karena aku bosan berada dalam kepenatan rumah, aku menyetujui ajakannya.
            Suara dentuman musik khas jawa mengalun dengan keras. Sepasang kekasih berdiri diatas altar mengucap sumpah janji ikatan perkawinan. Aku berdiri memperhatikannya, hingga seseorang menepak pundakku.
“kata bude ita, semua makanan ini kau yang buat”. Seorang pria separuh baya dengan batik khas jogya, menyapa dengan ramah, ia menggenggam sebuah piring putih dengan berbagai macam makanan diatasnya, mulutnya terlihat mengunyah dengan lahap. Aku memeluknya  dengan erat sepupu jauhku itu.
“ali, bagaimana kabarmu?”. Kataku antusias. Ia tersenyum dengan ramah memamerkan deretan giginya yang rapih.
“baik, kalau kau sendiri bagaimana, sudah lama sekali aku tidak melihatmu, kau tak pernah mengunjungi jogja”. Katanya panjang lebar.
“aku belum sempat, dua hari lalu kebutulan bude ita, menelepone ku ia menyuruhku datang membantu menyiapkan perkawinan mas dimas”. Aku berusaha menjelaskan, sambil merapihkan makanan yang tertata di meja hidang.
“hmm kau terlalu sibuk sampai tidak bisa mengunjungi sepupumu yang ganteng ini”. katanya pelan.
“oh iya, kau bekerja dimana sekarang?”. Tanyanya penasaran. Aku tak mengira ia akan bertanya demikian. Aku diam, sejujurnya aku malu untuk berkata jujur, kalau aku sekarang menjadi penggangguran.
“kebutulan aku sedang tidak bekerja”. Kataku ragu, suaraku terbata-bata. Ia menatapku ku heran. Ia menepak punggungku dengan keras.
“aku sangat suka kue yang kau buat, kebetulan sekali, bagaimana kalau kita bekerja sama untuk membuat toko kue mini?”. Aku tersenyum lebar dengan ajakannya itu. Ia membuat secercah harapan ditengah kegusaran ku selama ini.
            Esoknya tidak terlalu buruk. Karena Tanganku penuh tepung, suara bising dari mixer yang sedang mengocok gula dan telur mengiringi saat aku berada didapur. Aku memasukan terigu dan mentega dengan semangat, dan senyuman yang mengembang. Hingga cake dengan tambahan pisang ambon itu sudah hadir diatas piring hidang.

1 komentar: