"Penggangguran"
Aku
bangun siang kali ini. saat aku membuka mata, aku menatap ke jendela, langit
terlihat terang dengan matahari yang kian menguning. Aku tak langsung beranjak
dari kasurku yang bersprei merah keunguan, tapi aku menikmati dengan tenang
hingga pikiranku menerawang jauh. masih teringat jelas dimemori otakku. Saat
pak darmono memanggilku keruangannya, pria berkacamata itu meletakan kertas di
mejanya yang panjang, ia menyuruhku untuk menandatanganinya.
Aku terduduk lemas, keringatku
bercucuran dengan deras meskipun ruangan yang tidak terlalu besar itu
dilengkapi dengan ac. Ia menepak pundakku hingga jariku yang lentik menorehkan
tinta hitam di atas kertas kosong itu. Sebuah kertas pemecatan dari perusahaan.
“neva,
cepat bangun, sudah siang”. Teriakan dari luar pintu yang membuyarkan
lamunanku. Tapi aku kalah cepat dengan langkah kaki yang terdengar semakin
dekat.
“kau
belum mandi neva?”. Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku dan menengok
kerah suara itu. Suara yang berasal dari tika, wanita yang pernah melahirkanku.
Aku menatapnya lemas.
“aku
libur hari ini bu”. Kataku berbohong, ia menatapku heran. Aku memang tidak
berbakat untuk berbohong, tapi untuk kali ini, aku harus melakukannya. Aku tak
mungkin berkata jujur, kalau aku sebenarnya, mulai detik ini statusku menjadi
pengangguran.
Hari bergulir dengan cepat. Putaran
jam semakin berlari dengan kencang meninggalkan mimpiku ditengah kegusaran
mencari kerja. Aku terdiam, melihat bayangan diriku sendiri di depan cermin.
Wajah yang pucat, rambut panjang yang tergerai dibalik bahu, warnanya hitam
pekat. Aku menyisirnya, aku memakai kemeja berwarna coklat yang setiap sudutnya
bergaris. Dengan langkah gontai aku masuk kedalam ruangan tunggu yang penuh
sesak.
“neva,
sekarang giliranmu”. Teriak seorang wanita berkemeja biru. Ia mengantarku
kesebuah ruangan interview. Aku berjalan mengikutinya, memasuki ruangan yang
tidak terlalu besar dengan papan di dinding atasnya tertulis hrd departement.
Seorang pria setengah baya,
menyuruhku duduk, pria itu beralis tebal dengan kaca mata hitam tak luput dari
wajahnya. Ia membuka amplop coklat yang didalamnya terdapat data diriku. Ia membacanya
dengan teliti lalu menatapku dengan serius.
“nama
panjangmu neva arista dewi purna?”. Ia bertanya dengan pelan sambil sesekali
terlihat membenarkan kacamatanya. Aku mengangguk pelan.
“hmm,..apa
pendidikan terakhirmu?”. Aku melihat mimik wajahnya, tegas.
“d3
perhotelan”. kataku ragu, ia terlihat menggelengkan kepala. Menatapku tak
percaya.
“jurusan
apa”. Ia terdengar penasaran.
“tata
boga”. Kata ku pelan, tanganku berkeringat menahan gugup.
“kau
tau?? Posisi yang kau lamar?”. Aku menggangguk pelan.
“accounting?”.
Jawabku, terbata-bata. Entah mengapa ia tertawa dengan keras hingga membuatku
semakin tak bisa menguasai kegugupanku.
“ha..ha..,
aku baru mendengar kalau juru masak bisa menghitung gaji karyawan”. Suaranya
terdengar meremehkan.
“baiklah,
aku akan menghitung tes psikotes, kalau kau diterima diperusahaan ini. hrd kami
akan menghubungimu kembali”. Ia berdiri, menjabat tanganku dengan pelan. Aku
berjalan dengan lesu keluar ruangan berdinding putih itu.
Aku
merebahkan tubuhku diatas kasur, mataku tak lepas dari surat kabar. Dengan
pulpen yang ada digenggamanku, aku mencontreng beberapa perusahaan yang sudah
aku lamar. Melihatnya dengan teliti hingga aku lelah dan terlelap dalam
ketidasadaran.
“nak,
apakah kau punya simpanan uang?”. Tika, menyapaku saat aku baru mengambil
piring didapur. Ibuku itu terlihat sudah tua dengan kerut yang menghiasi
beberapa bagian wajahnya. Aku duduk lemas, lemas karena aku tak punya
sepeserpun uang di dompetku. Terlebih tabunganku sudah kukuras dengan habis
untuk membayar pengobatan andre adikku. Aku merasa bersalah padanya karena
selama ini aku selalu memberinya uang tiap bulan tapi sudah dua bulan lebih aku
tak kunjung mendapat pekerjaan.
“maafkan
aku bu, aku tidak ada uang sekarang”. Jawabku jujur, ia tersenyum dengan sabar.
Aku duduk, mengunyah nasi sambil menatapnya dari kejauhan.
Aku menghubungi beberapa teman
lamaku, mencoba menjalin komunikasi kembali, tapi mereka berkata hampir sama
bahwa diperusahan tempat kerja mereka sedang tidak ada lowongan dan itu
membuatku kecewa. Aku semakin bosan berada dirumah, terutama saat akan pergi ke
warung setiap tetangga menatapku aneh. mereka mengganggapku tidak berguna
karena aku tak mempunyai pekerjaan.
Aku
duduk di depan layar televisi. Melihat para lakon itu berperan dengan lincah
memainkan alat musik. Memperhatikan mereka menari-nari hingga ringtone ponsel
berbunyi mengalihkan perhatianku.
“neva,
bagaimana kabarmu nak?”. Suaranya terdengar halus. Aku menanyainya yang baru
aku tau bude ita pemilik suara itu.
“baik
bude, bude apa kabar”. Aku balik bertanya.
“baik
nak, kata ibumu kamu ada dirumah terus, dari pada bengong, kau bantu bude bikin
kue untuk perkawinan mas dimas”.
Ajaknya, aku tadinya ragu tapi karena aku bosan berada dalam kepenatan rumah,
aku menyetujui ajakannya.
Suara dentuman musik khas jawa
mengalun dengan keras. Sepasang kekasih berdiri diatas altar mengucap sumpah
janji ikatan perkawinan. Aku berdiri memperhatikannya, hingga seseorang menepak
pundakku.
“kata
bude ita, semua makanan ini kau yang buat”. Seorang pria separuh baya dengan
batik khas jogya, menyapa dengan ramah, ia menggenggam sebuah piring putih
dengan berbagai macam makanan diatasnya, mulutnya terlihat mengunyah dengan
lahap. Aku memeluknya dengan erat sepupu
jauhku itu.
“ali,
bagaimana kabarmu?”. Kataku antusias. Ia tersenyum dengan ramah memamerkan
deretan giginya yang rapih.
“baik,
kalau kau sendiri bagaimana, sudah lama sekali aku tidak melihatmu, kau tak
pernah mengunjungi jogja”. Katanya panjang lebar.
“aku
belum sempat, dua hari lalu kebutulan bude ita, menelepone ku ia menyuruhku
datang membantu menyiapkan perkawinan mas dimas”. Aku berusaha menjelaskan,
sambil merapihkan makanan yang tertata di meja hidang.
“hmm
kau terlalu sibuk sampai tidak bisa mengunjungi sepupumu yang ganteng ini”.
katanya pelan.
“oh
iya, kau bekerja dimana sekarang?”. Tanyanya penasaran. Aku tak mengira ia akan
bertanya demikian. Aku diam, sejujurnya aku malu untuk berkata jujur, kalau aku
sekarang menjadi penggangguran.
“kebutulan
aku sedang tidak bekerja”. Kataku ragu, suaraku terbata-bata. Ia menatapku ku
heran. Ia menepak punggungku dengan keras.
“aku
sangat suka kue yang kau buat, kebetulan sekali, bagaimana kalau kita bekerja
sama untuk membuat toko kue mini?”. Aku tersenyum lebar dengan ajakannya itu.
Ia membuat secercah harapan ditengah kegusaran ku selama ini.
Esoknya tidak terlalu buruk. Karena Tanganku
penuh tepung, suara bising dari mixer yang sedang mengocok gula dan telur
mengiringi saat aku berada didapur. Aku memasukan terigu dan mentega dengan
semangat, dan senyuman yang mengembang. Hingga cake dengan tambahan pisang
ambon itu sudah hadir diatas piring hidang.
heloo...
BalasHapus